Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Allah Swt berfirman : "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat." (Q.S. Al-Mujadalah : 11). Rasulullah Saw bersabda : "Barang siapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmu, barang siapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmu dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Adab Jama'ah Naqsyabandi

Pokok-Pokok ajaran dalam Thariqat An-Naqsyabandi pada penerapan kehidupan beragama dalam kesehariannya adalah :
  1. Berpegang teguh terhadap ajaran Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah serta paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah;
  2. Mengamalkan sesuatu pekerjaan (apapun) yang halal;
  3. Mengurangi tidur supaya dapat berdzikir dengan baik;
  4. Berhati-hati terhadap masalah subhat dalam syari’at agama;
  5. Senantiasa merasa di awasi oleh Allah (Muraqabah);
  6. Selalu menghadapkan diri (hati) kepada Allah sepanjang nafas (kontinyu);
  7. Berpaling (tidak tergiur) dalam arti terhadap kemewahan dunia;
  8. Merasa sepi kesendirian dan dalam suasana ramai serta hati selalu hadir kepada Allah;
  9. Menjaga aurat (berpakaian yang rapi);
  10. Melazimkan ibadah dengan dzikir khafi (samar atau tersembunyi/syir);
  11. Senantiasa menjaga keluar masuknya nafas, jangan sampai lupa dan lalai dalam mengingat Allah, daN
  12. Berakhlak perilaku yang luhur seperti yang di contohkan Rasulullah Saw.
Al Ghazali, Ikhya Ulum al Din, Juz I , Dar al Ma’arif, Bairut, hlm. 509 sebagaimana di nyatakan oleh Al-Khalili dalam karyanya Ajaran Thariqat. Beliau menyinggung tentang kewajiban moral murid terhadap guru atau syeikhnya, yang di perinci oleh beliau sebagai berikut :

  1. Menyerahkan segala-galanya lahir dan batin kepada guru;
  2. Harus patuh terhadap terhadap perintah guru;
  3. Tidak boleh syak wasangka pada guru;
  4. Tidak boleh melepas ikhtiarnya.
  5. Harus selalu mengingat pada petuah dari gurunya;
  6. Tidak boleh menyembunyikan rahasia hatinya.
  7. Memelihara keluarga dan kerabat guru;
  8. Kesenangan murid tidak boleh sama dengan guru.
  9. Tidak boleh mempunyai keinginan lebih dalam bergaul dengan gurunya;
  10. Harus yakin bahwa gurunya sebagai perantara;
  11. Tidak boleh memberi saran kepada gurunya kecuali hanya menambah kebaikan dan mengingatkan, artinya boleh untuk saling mengingatkan;
  12. Di larang memandang guru bahwa gurunya mempunyai kekurangan;
  13. Harus rela memberikan sebagian hartanya apabila di butuhkan atas kepentingan gurunya;
  14. Tidak boleh bergaul dengan orang yang di benci gurunya;
  15. Tidak melakukan sesuatu yang di benci gurunya;
  16. Tidak boleh iri dengan murid lain;
  17. Segala sesuatu yang menyangkut dirinya harus mendapat izin dari gurunya, dan
  18. Tidak boleh menempati tempat duduk yang biasa di tempati gurunya.
Namun demikian yang namanya model atau teori pendidikan manapun kelihatannya belum ada yang mengalami kesempurnaan. Untuk itu menurut hemat pemikiran penulis, tawajjuh berjama’ah di dalam thariqat sangatlah baik dan harus di laksanakan secara rutin, mengingat jika kita telusuri dari perkembangan, thariqat itu muaranya adalah Rasulullah Saw. Sebagaimana yang tercantum di dalam buletin tsaqafatuna, disana di terangkan pada waktu itu Sayyidina Ali bertanya kepada baginda Nabi, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepada kami, jalan yang paling dekat kepada Allah.” Nah di sinilah thariqat sudah di terapkan secara praktis, menyatu dengan kepribadian seorang mu’min, yang lengkap dengan akhlaknya. Sayyidina Ali di suruh duduk oleh Rasulullah Saw dengan posisi yang terbaik dari cara duduknya, lalu tangannya di atur sedemikian rupa oleh Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan,“Pejamkan matamu!” Selanjutnya Rasulullah Saw menuntun (talqin) pada Ali dengan ucapan “Laa ilaaha illallah” tiga kali. Thariqat itu di jalankan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Lalu Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq mendengarkan hal itu. Maka datanglah kepada Ali bin Abi Thalib sambil memohon : “Wahai Ali, ajarkanlah kami sebagaimana kamu di ajari Rasulullah Saw.” Talqinlah aku.” Kita tentu merasa kagum melihat hal ini. Sayyidina Abu Bakar kan mertua Nabi, umurnya haya selisih satu tahun dengan Rasulullah, yang jika di banding dengan usia Ali sangatlah jauh jaraknya, di mana Sayyidina Ali lebih muda. Tapi mengapa Abu bakar datangnya kepada Sayyid Ali, bukannya langsung kepada Rasulullah Saw! Seandainya minta tuntunan langsung kepada Rasululllah Saw, kan bisa juga. Tetapi dengan tawadlu’nya, dengan akhlaknya dan kemauan menghargai ilmu yang di peroleh Ali , Sayyidina Abi Bakar minta di talkin dan di bai’at oleh Ali. Maka kedudukan Sayyidina Abu Bakar adalah sebagai murid Sayyidina Ali bin Abi Thalib di dalam hal thariqat. Tidak lama setelah kejadian itu juga ternyata Abu Bakar di bai’at oleh Rasulullah Saw dengan dzikir sirri. Ketika mendengar berita itupun sahabat Ali datang kepada sahabat Abu Bakar untuk minta di bai’at. Kemudian di bai’atlah Ali sehingga menjadilah beliau sebagai murid Sayyidina Abu Bakar. Hal ini juga di dukung oleh banyaknya hadits Rasulullah Saw tentang pengamalan ilmu dan penyebarannya, mendorong mereka untuk berbagi ilmu dan pengamalannya kepada calon murid yang mendekatkan diri kepadanya. Hadits Ad-Dinu Nasihah dan Al-Ulama’ Waratsatul Anbiya’, yang di gemari oleh mereka untuk penyebaran itu. Sehingga syeikh (guru) mempunyai tugas dan kedudukan seperti Rasulullah Saw. Hal tersebut tersimpul dalam hadits Rasulullah Saw yang artinya “seorang syaikh dalam kalangannya adalah seperti nabi di antara umatnya”. 

Itulah sebabnya jabatan guru di dalam thariqat tidak boleh di emban oleh sembarang orang, ia merupakan orang pilihan yang telah berhasil menguasai pokok ajaran ilmu thariqat, dalam pada itu juga peranan guru di dalam thariqat juga merupakan sosok yang wajib di hormati, di patuhi dan tidak boleh di ganggu gugat. Wallahu a'lam.